Sunday, May 8, 2011

Rasa Sayange di Panggung Broadway Lion King


Pertunjukan drama musikal spektakuler the Lion King yang berawal di panggung Broadway, New Amsterdam Theater, sudah berjalan selama 14 tahun. Julie Taymor, sang sutradara, pun telah mendapat pengakuan dunia atas kecakapannya mengadopsi film animasi produksi Disney tersebut ke panggung teater.
Selama itu pula, the Lion King sudah mendapatkan setidaknya 70 penghargaan internasional untuk pertunjukan teater. Bahkan, diyakini, lebih dari 50 juta orang dari seluruh penjuru dunia sudah menyaksikan suguhan mengagumkan tersebut.
Sungguh tak bisa disangkal, kemasyhuran pertunjukan ini telah dikenal banyak orang di dunia. Akan tetapi, berapa banyak orang yang tahu bahwa pementasan yang aslinya kental membawa budaya Afrika ini ternyata mengadopsi banyak aspek dari budaya Indonesia?
Selama lima tahun, Julie Taymor menjalani waktunya di Indonesia untuk memperdalam pemahamannya terhadap kesenian wayang kulit, wayang orang, tari topeng, dan ornamen-ornamen dalam kesenian itu.
John Stefaniuk yang menjadi associate director dalam pementasan di Singapura, Rabu (9/3/2011) kemarin, mengakui, banyak gerakan dan koreografi dalam pementasan ini yang mengadopsi elemen tari Jawa. “Bagaimana boneka macan itu dijalankan oleh si aktor agar menunjukkan sisi kekuatan dari seekor binatang, itu sangat dipengaruhi oleh tarian Jawa,” kata Stefaniuk.
Dalam pementasan semalam, nuansa Indonesia dapat dirasakan dengan jelas di tengah dominasi budaya Afrika yang begitu kental. Pada adegan pembuka, misalnya. Saat tokoh Scar, adik Mufasa, sedang mengeluhkan hidupnya yang dirasa tak adil, di belakangnya terbentang layar gelap dengan refleksi seekor tikus berjalan di atas tanah.
Sosok tikus itu—dan juga jerapah dan banteng pada adegan lain—terlihat sebagai siluet atau bayangan hasil refleksi yang dipantulkan ke arah layar. Bagi orang Indonesia, mereka tentu akan langsung mengerti, teknik ini selalu ditemukan pada pertunjukan wayang kulit di Jawa.
Adopsi wayang tak berhenti sampai di situ. Ada tokoh Zazu, burung Enggang yang menjadi ajudan Mufasa si raja rimba. Zazu yang muncul pada hampir seluruh penggalan cerita di pementasan ini ditampilkan seperti wayang golek.
Zazu terbang ke sana kemari, mengepakkan sayap, dan berbicara dengan paruhnya yang lebar berkat atraksi seorang “dalang” yang mengenakan pakaian gelap. Pemandangan ini mengingatkan kita pada tokoh Cakil, misalnya. Zazu dapat berbicara dengan paruh yang bergerak dan sayap yang mengepak berkat sebilah tongkat yang melekat pada bagian-bagian itu. Cara penyajian ini pun diterapkan pada berbagai adegan yang menampilkan burung terbang atau rusa yang berlarian.
Belum lagi cara berjalan sejumlah peran dalam pementasan ini. Mungkin bisa dirasakan sebagai adopsi dari wayang orang atau tarian-tarian di Jawa. Mereka melangkah lembut sambil menggeser telapak kaki sejajar permukaan lantai, lalu sesekali mengangkat kakinya tinggi, dan kembali diturunkan perlahan.
Dari sisi kostum, kain yang membalut tokoh Simba kecil dan Nala terlihat mirip batik. Tapi, kali ini dugaan itu tak terlalu benar. “Itu motif asli Afrika Selatan yang kami adopsi,” kata Kjeld Anderson, penanggung jawab kostum dalam pementasan ini.
Namun, Kjeld membenarkan bahwa karakter yang ditampilkan dalam topeng dan beberapa detail di kepala Nala merupakan adaptasi dari budaya Jawa dan Bali di Indonesia.
Terakhir, yang mengejutkan adalah saat Zazu beradegan dengan Scar di pertengahan pementasan. Burung Enggang yang baru ditinggal mati Mufasa tuannya itu menyindir Scar yang kembali mengeluhkan hidupnya meski telah menjadi raja. Tiba-tiba Zazu bernyanyi, “Rasa sayange, rasa sayang-sayangeeeee….”
Kontan adegan ini mengundang tepuk tangan dan gelak tawa dari 1.600 penonton yang memadati Sands Theater semalam. Mungkin adegan ini adalah salah satu kejutan yang dijanjikan oleh John Stefaniuk saat berujar kepada wartawan sebelum pementasan bahwa ia akan memberikan muatan lokal yang tidak ada pada pertunjukan di negara lain. Namun, bukankah itu pun lagu dari Indonesia?
Kekayaan budaya Indonesia terbukti bisa menginspirasi dan mendongkrak kualitas pertunjukan drama musikal kelas dunia macam the Lion King. Lalu, kapan the Lion King tampil di Indonesia?
Mendengar pertanyaan ini, Stefaniuk tertawa lebar dan menjawab, “Kami senang untuk tampil di negara mana pun. Jika Indonesia mau, undanglah kami. Kami ke Singapura pun karena kami diundang,” jawabnya.
Pada kesempatan yang sama, Anne Quart, associate producer dari pementasan ini, mengatakan, pemindahan pementasan the Lion King membutuhkan rencana panjang karena menyangkut sumber daya manusia, properti, dan kesiapan lokasi pertunjukan. “Kami harus mempertimbangkannya dengan masak karena ini kerja besar dengan perencanaan panjang,” ujarnya.
Sumber: KOMPAS

No comments:

Post a Comment