Jakarta Love Riot (JLR) tampaknya menjadi pertunjukkan teater musikal kontemporer yang harus diperhitungkan. Disajikan dengan sangat menarik oleh Eki Dance Company (yang juga menggarappementasan Miss Kadaluwarsa pada tahun 2008), JLR sukses meraih hati penonton pada 2010 dan 2011. Rudy Rusmarakta, sutradara dan koreografer JLR adalah salah satu orang paling penting dibalik pencapapaian ini. Namun, siapa sangka, Rusdy—akrab ia disapa—awalnya tak pernah berniat terjun di dunia tari. Berikut adalah cuplikan kisah hidup pendiri Eki Dance Company dan juga cerita dibalik panggung JLR yang coba saya tulis untuk pembaca Kompasiana.
“Sebenarnya dari kecil itu saya enggak mau jadi penari. Walaupun disuruh sama orang tua,” kata Rusdy mengurai awal kisahnya bersentuhan dengan seni tari. Harapan sang ibu yang ingin menjadi penari sempat coba diturunkan kepada Rusdy. Namun, kala itu Rusdy belum tertarik. Perpindahan musim tahun ajaran baru dari bulan Januari menjadi Juni kala ia duduk di bangku SMA menjadi periode awal perkenalannya dengan seni tari. Waktu kosong selama enam bulan saat itu dimafaatkan Rusdy menjawab ajakan teman-temannya untuk membuat sebuah pertunjukkan. “Kita bikin pergelaran segala macam, panggil guru. Saya diminta ikut sama teman-teman. Ternyata saya senang dan gurunya juga senang. Malah diajak sama dia nari, nari, nari. Bermula disitulah,” ungkap Rusdy.
Kegemaran bapak empat orang anak itu semakin bertambah setelah menjalani latihan demi latihan ekstrakurikuler di bawah bimbingan sang mentor, Linda Karim. Kegiatan ini juga menjadi pintu kesempatan baginya di kemudian hari untuk berkenalan dengan maestro-maestro tari seperti Farida Faisol, Roy Tobing, dan Rudy Wowor.
Jatuh cinta pada dunia tari
Selepas SMA, Rusdy melanjutkan pendidikan di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Aktivitas menarinya terus berlanjut. Bersama teman-temannya Rusdy membentuk grup tari. Pada awalnya ia berusaha untuk menjalani dua hal yang berbeda itu secara beriringan. Namun, saat jadwal ujian kuliahnya makin sering berbenturan dengan waktu gladi resik ataupun pergelaran tarinya, Rusdy akhirnya memutuskan untuk fokus pada dunia tari. “Akhirnya saya bilang sama orang tua. Jadi saya tinggalkan kuliah di sastra dan serius di dunia tari,” tutur Rusdy.
Fokus dan kemantapan Rusdy untuk berkecimpung di dunia tari membawanya ke ibu kota Inggris, London. Pada tahun 1985, ia mendapat beasiswa dari Bristish Council untuk belajar tarian kontemporer dan koreografi selama satu tahun. Di London Contemporary Dance School, Rusdy menebalkan tekadnya. Apa pelajaran utama yang didapat dari London? Rusdy menjawab,“Yang utama adalah disiplin. Disiplin belajar, disiplin berkarya. Kalau ilmu sih di sini bisa dapat ya. Tapi budaya untuk menjadikan tari itu sebagai sebuah disiplin kerja itu dapatnya di sana.” Disiplin ilmu dari Eropa itu kemudian dia bawa pulang ke Indonesia dan menjadi modal utamanya bersama sang istri membentuk komunitas tari Eksotika Karmawibhangga Indonesia pada tahun 1996. Komunitas itulah yang kini populer dengan sebutan EKI Dance Company.
Rusdy mengaku jatuh cinta pada seni tari atas alasan dasar yang sangat sederhana.”Karena saya bisa,” katanya. Selain itu, perasaan senang yang selalu timbul saat menari kemudian juga mendorong Rusdy untuk tak pernah berputus asa dalam menghadapi tantangan apapun. “Pokoknya mau latihan berapa kali terus enggak jadi pentas, kok enggak apa-apa, gitu. Pernah saya latihan enam bulan untuk satu produksi, tahu-tahu enggak jadi pentas. Tapi ini enggak membuat saya kapok. Nah dari situ saya tahu, ini hidup saya,” papar suami dari Aiko Seno Soenoto itu. Dengan dukungan dan sikap open orang tua terhadap pilihan profesinya, Rusdy semakin mantap menjejakkan kaki di dunia tari.
Tentang Jakarta Love Riot
Pementasan Jakarta Love Riot I yang sukses pada tahun 2010 menjadi salah satu bukti pencapaian karier Rusdy bersama EKI Dance Company. Pertunjukkan drama komedi musikal yang antara lain dibintangi Sarah Sechan, Bayu Oktara, Ira Duaty, Arie Dagienkz dan Uli Herdinansyah itu memukau penonton yang hadir di Gedung Kesenian Jakarta selama tiga hari, yaitu pada tanggal 2-4 Juli. Kesuksesan JLR I membuat Rusdy dan teman-teman tertantang untuk membuat sekuelnya di tahun 2011. Dan seperti sebelumnya, mereka kembali sukses mencuri perhatian penikmat teater di Indonesia melalui pertunjukkan yang digelar di tempat yang sama pada tanggal 23-27 Februari lalu.
Jakarta Love Riot konsisten untuk mengangkat kisah cinta dua anak manusia yang berbeda status sosial. Tokoh utamanya adalah dua anak muda dari latar belakang keluarga kaya raya dan penjual soto yang saling jatuh cinta. Namun, karena terhalang citra dan perbedaan kelas, jalinan mereka menyulut “kerusuhan” antarkeluarga masing-masing. Rusdy punya alasan tersendiri mengapa mengangkat tema dasar yang sama dalam dua kali pementasan EKI Dance Company terkini. “Begini, kita harus awas. Bahwa di Jakarta yang sudah sangat modern, demokratis, bahkan cenderung liberal gitu ya, jangan-jangan di komunitas terkecil, di keluarga, kita itu masih membeda-bedakan orang berdasarkan latar belakang. Janganlah itu begitu,”terang Rusdy.
Rusdy mengaku senang karena tema yang ditawarkan JLR mendapat apresiasi yang baik dari para penonton. “Ternyata (tema) itu cukup kena. Kalau saya dengar dari penonton, ada yang tertawa di satu sisi, dan di satu sisi kayaknya enggak ngerti. Sementara di lain sisi, ada juga yang tertawa, tapi ada yang enggak ngerti. Nah, yang lucu berarti kita menceritakan clash antara dua golongan dengan tanpa sadar menyatukan dua golongan penonton di gedung ini,” sambung Rusdy bersemangat. Bagi Rusdy, di luar segala pencapaian artistik, kehadiran dua golongan penonton yang menikmati pementasan JLR menjadi pencapaian sosial tersendiri.
Kesuksesan JLR I diakui Rusdy menjadi tantangan tersendiri dalam mempersiapkan JLR 2. Tim kreatif dituntut untuk menyajikan sesuatu yang baru, tanpa harus kehilangan cita rasa dan ciri khas JLR seri perdana. Dari situ, Rusdy dan rekan-rekannya kemudian mencoba menciptakan inovasi-inovasi anyar melalui opening scene yang menakjubkan, skenario yang lebih matang, dan tata musik serta koreografi yang semakin ciamik. Mengenai opening scene, Rusdy mempunyai cerita menarik. Kehadiran para penari yang tampil di atas panggung dalam balutan warna-warni lampu LED ternyata melalui proses yang tidak sederhana. Teknologi LED yang diharapkan konon berada di China. “Makin dekat waktunya makin belum ketemu teknologinya,” cetus Rusdy. Namun, tanpa sengaja, salah satu tim kreatif kemudian mencoba mencari alternatif lain yang kira-kira serupa di Jakarta.”Ada teman yang iseng ke Glodok. Eh ternyata ada juga,” sambung Rusdy sambil tertawa lebar.
Selain opening scene, Rusdy cs juga meningkatkan kualitas skenario. Setelah pementasan JLR I dievaluasi, ternyata ada beberapa keganjilan script. Misalnya, baik tokoh laki-laki maupun perempuan, keduanya ternyata anak tunggal. Rusdy mengatakan,”Ini kan kebetulan banget. Nah ini kita tambahinscriptnya tapi jangan sampai dialog-dialog yang sudah berjalan jadi hilang.”
Tak ketinggalan, evaluasi juga menyentuh bidang tata musik dan koreografi. Selain menambah jumlah penari dan tingkat kerumitan tarian pada beberapa scene, pada JLR 2 ini juga muncul seni pantomim. “Setelah itu semua kita lihat, eh lucu juga kalau ada pantomim. Kebetulan ada Mas Yayu (Yayu Unru) juga yang master pantomim di Indonesia. Ya akhirnya dia bikin yang adegan rumah sakit,” terang Rusdy.
Ciri khas JLR
Jalinan kerja sama diantara tim kreatif JLR I yang sudah erat membuat proses penciptaan JLR 2 menjadi lebih mudah. Rusdy menyebut sutradara pementasan Nanang Hape, penata kostum Samuel Wattimena, penata artistik Sugeng Yeah, make up artist Darwin Tse, penata panggung Dimas Leimana, penata musik Oni Krisnerwinto, dan sound engineer Goutama Adjie antara lain sebagai winning team pada proses kreatif JLR.”Jadi kita bisa ciptakan flow yang menurut saya pribadi cukup lancar. Artinya perpindahan set, perpindahan adegan, perpindahan musik itu lancar karena kita udah bekerja sama sekian waktu. Ego masing-masing itu sudah hilang,”ungkap Rusdy.
Karakteristik EKI Dance Company sebagai sebuah komunitas tari juga menjadi keuntungan tersendiri. Secara latar belakang, EKI memang menjadi tempat berkumpul orang-orang yang berprofesi sebagai penari di komunitas tersebut. Rusdy berujar,“Jadi dengan basic sebuah komunitas, mau ke sini mau ke sana itu lebih gampang.”
Namun, diakui pula oleh Rusdy, kemudahan itu tidak serta merta datang ketika berbicara soal tekhnik menyanyi yang juga harus dikuasai para penari EKI Dance Company di atas panggung. Susah karena kita harus cari kompromi juga. Napas tari dan nyanyi beda. Apalagi harus dua-duanya,”ungkap Rusdy. Dari situ, ia dan tim kemudian mencoba mencari jalan keluar dengan melakukan kombinasi tarian dan nyanyian dalam babak demi babak pertunjukkan. Rusdy menjelaskan,”Yang kelihatannya semua menari dan menyanyi ini harus dikombinasi, mana yang kadang-kadang lebih banyak, mana yang kurang.”Untuk mencapai hasil yang maksimal, Rusdy membekali para penari dengan tekhnik vokal yang terus dilatih dengan gerakan. “Jadi napasnya sudah bisa dilatih gitu,” lanjut Rusdy.
Pesan untuk generasi muda
Di ujung perbincangan, Rusdy menyampaikan pesan kepada generasi muda yang ingin terjun ke dunia tari. “Jatuh cinta aja (dengan seni tari). Jadi kita akan senang ketika kita latihan. Bukan senang ketika kita pentas. Karena kalau kita senang waktu pentas, kita akan stres waktu latihan. Tapi kalau kita happywaktu latihan, kita akan bisa maju tanpa terasa. Tahu-tahu udah pentas dimana-mana,” pungkas koreografer pergelaran “Nona dan Tuan” di Makassar Art Forum (1999), “Madame Dasima” (2001), dan“Love Lost” dalam acara NAISDA Dance College End Year Production di Sydney Australia (2001) itu.
No comments:
Post a Comment