Irama musik perpaduan angklung dan arumba begitu ritmis membahana dari Laboratorium Tari dan Musik Karawitan, Balekambang-Condet, Jakarta Selatan. Berbagai jenis lagu, mulai lagu daerah hingga pop Indonesia mengalun merdu dengan komposisi yang pas.
Hanya sang konduktor dan penabuh gendang yang terlihat berwajah Indonesia. Selebihnya adalah sembilan orang wanita yang terlihat begitu terampil memainkan melodi, ritem hingga bas arumba dan angklung. Mereka adalah grup Melodi Manis, sekelompok warga Jepang yang menjadi binaan Budi Abdurrahman (50) beserta rekannya Ario.
Fakta ini unik sekaligus aneh. Di saat jejak kesenian Betawi maupun tradisi Nusantara lainnya mulai meredup dari perhatian generasi muda Jakarta, Budi Abdurrahman masih mampu membentuk empat kelompok pemusik arumba dan angklung.
Saat teater Topeng dan Lenong miskin peminat, ada orang seperti Naoko Yamaji yang datang ribuan mil dari Nagasaki, Jepang, menuju Jakarta khusus untuk mempelajari arumba dan angklung.
Unik karena Naoko benar-benar seorang berbasis musik. Sejak kecil ia telah belajar piano. Dengan predikat sebagai sarjana musik, Naoko bisa dipastikan telah mengenal ragam alat musik dari berbagai belahan dunia. Namun, ia justru memilih mempelajari arumba dan angklung. Ia meninggalkan profesinya sebagai guru piano, melepaskan alat musik yang dipelajari sejak kecil untuk menekuni cara memainkan melodi dan bas alat musik pukul asal Sunda, Arumba. “Menjadi pemain melodi arumba adalah yang paling menarik bagi saya,” kata Naoko seusai latihan
Miki Megumi, wanita asal Osaka ini tidak jauh berbeda. Saat kecil ia menggemari piano. Jari-jarinya mulai meninggalkan bilah-bilah tuts piano menjelang dewasa. “Saya sangat tertarik pada angklung, juga arumba,” kata ketua kelompok Melodi Manis, sekaligus orang yang cukup lancar berbahasa Indonesia di antara mereka.
Mereka rata-rata telah berada di Indonesia hampir setahun. Anggota terbaru malah sudah tujuh bulan berada di Jakarta. Wanita tersebut berasal dari Fukushima, salah satu kota yang menjadi wilayah terparah akibat gempa Jepang. “Keluarga saya semuanya selamat. Itu yang terpenting bagi saya,” katanya. Karena itu, menurutnya, kondisi kotanya saat ini tidak lagi mengganggu konsentrasi latihan.
Budi sendiri sudah melatih warga negara Jepang sejak 1993 . “Sejak itu, mereka (WN Jepang) tak hentinya datang untuk berlatih di sini. Setiap tahun pasti ada beberapa kelompok baru,” kata pria asli Sunda yang mengaku belajar alat musik khas daerahnya secara otodidak.
Budi semdiri yang membuat komposisi musiknya, tergantung pada jumlah orang dan pilihan alat musiknya.
“Kalau ini (grup Melodi Manis) perpaduan angklung dan arumba. Ada juga kelompok khusus arumba seperti Pelangi-Pelangi dan Buluh Perindu,” katanya.
Ia sendiri menyukai penampilan sebagai suatu orkestra. “Kalau jumlah pemainnya mencapai 30 orang, kita buat orkestra. Jenis alat musik yang dipakai lebih banyak dan suaranya lebih variatif, meski komposisinya lebih rumit,” ujar pria yang sudah mendalami alat musik arumba sejak 1982 ini.
Ia sendiri mengaku tidak cemas akan kehilangan peminat dari Jepang. Pasalnya, latihan keseniannya sudah masuk dalam destinasi yang direkomendasikan ke wisatawan asal Jepang di negara asalnya.
Apa yang dialami Budi berbanding terbalik dengan kesenian tradisional betawi di tempat tersebut. Laboratorium Tari dan Musik Karawitan, sesuai namanya, sebenarnya dibangun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI untuk mengembangkan budaya betawi di daerah Balekambang-Condet. Lantaran, Condet dikenal sebagai salah satu kawasan di Jakarta dengan yang memiliki banyak komunitas betawi. Sayangnya, upaya pelestarian itu memudar dan kurang mampu menarik minat generasi baru.
Herry Zulkaman, staf Balai Latihan Kesenian Jakarta Selatan tidak melihat minat kaum muda sebagai alasan. Situasi ini, menurutnya, lebih disebabkan pasang-surut alias tidak menentunya kehidupan sanggar seni dan budaya.
“Rata-rata seniman tradisional murni menggantungkan hidupnya dari penghasilan sanggar mereka. Kalau yang terjadi hanya pengeluaran untuk latihan melulu, sedangkan pementasannya jarang, kebanyakan mereka akan kembang-kempis hidupnya,” kata pria asal Aceh yang sangat memperhatikan pengembangan seni tradisional.
Karena alasan itulah, pihaknya, kata Herry, aktif melakukan pembinaan sanggar-sangar seni dan bekerja sama atau memfasilitasi kegiatan pertunjukan bagi mereka.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka situasi kontras sebagaimana di Balekambang yang akan terlihat: warga negara asing tampil dengan musik tradisional nusantara. Sementara kita menjadi penonton yang terkagum-kagum dengan penampilan mereka.
Sumber: KOMPAS
No comments:
Post a Comment